"Kata fitrah menurut bahasa berarti merobek atau membelah, dan ungkapan Fatharallâhu al-Khalqa adalah berarti Allah menciptakan makhluk sedemikian rupa sehingga menjadi sumber berbagai perbuatan. Oleh karena itu, makna ayat yang berbunyi, (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut, ialah Allah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga makrifah kepada-Nya tertanam pada dirinya. Dengan begitu, maka fitrah Allah ialah potensi makrifat dan keimanan yang tersimpan pada diri maujud."[15]
Para cendekiawan menjelaskan fitrah ke dalam beberapa bentuk penjelasan:
1. Fitrah adalah tabiat dan karakter khusus yang digunakan dalam penciptaan manusia, yang karenanya manusia mempunyai potensi untuk menerima iman dan agama, dan jika ia kembali kepada tabiat pertamanya ia akan menjadi orang yang beragama dan menyembah Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang yang keluar dari agama, maka itu tidak lain disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, seperti taklid kepada kedua orangtua.
2. Seluruh manusia, di dalam dirinya mempunyai kecenderungan kepada Sumber wujud dan kecenderungan untuk menyembah dan tunduk di hadapan-Nya. Semua manusia di dalam dirinya mengakui keberadaan-Nya, meskipun terkadang dia salah dengan menyangka yang lain sebagai Dia dan tunduk di hadapannya. Karena kecenderungan kepada Sumber wujud dan keharusan menyembah-Nya terpatri dalam diri manusia, dan terkadang manusia salah dalam menentukan siapa Tuhan, maka muncullah praktek penyembahan berhala di tengah manusia.
3. Arti dari fitrah ialah manusia diciptakan untuk mengenal, bertauhid, beragama dan menyembah Tuhan.
4. Fitrah ialah janji dan pengakuan yang telah Allah Swt ambil dari seluruh manusia pada alam dzur dan awal penciptaan. Di alam dzur telah diambil pengakuan dari seluruh manusia akan keberadaan dan keesaan-Nya, dan mereka telah berjanji untuk menjadi penyembah Allah di alam dunia. Dengan demikian, maka seluruh manusia di dalam batinnya adalah penyembah Tuhan meskipun ada sebagian orang yang meletakkan tirai di atas panggilan batinnya dan mengingkari keberadaan Tuhan dengan lidahnya.
5. Yang dimaksud dengan menyembah Allah adalah fitrah ialah bahwa akal sendiri cenderung kepada Sumber wujud dan untuk membuktikan keberadaan Tuhan tidak memerlukan
argumentasi dan perolehan berbagai macam premis. Dengan berpikir tentang tatanan wujud dan mempelajari rahasia-rahasia penciptaan maka dengan sendirinya, dengan tanpa memerlukan argumentasi, manusia akan terbimbing kepada pengakuan akan adanya Pencipta alam ini. Oleh karena itu, fitrah adalah penciptaan khusus akal dan diri manusia.
6. Bangunan khusus ruh manusia diciptakan sedemikian sehingga secara otomatis dia adalah pencari dan penyembah Tuhan, dan kecenderungan kepada Sumber ciptaan dan penyembahan Tuhan telah ditanam sedemikian rupa dalam diri manusia sehingga menjadi sebuah insting. Sebagaimana insting cenderung kepada makanan tertanam pada tabiat manusia, yang secara otomatis dia merasa lapar lalu mencari makanan, maka kecenderungan kepada Tuhan dan penyembahan kepada-Nya pun tertanam dalam dirinya dan secara otomatis tertarik kepada-Nya.
Beberapa dari definisi di atas mempunyai kesamaan dan tidak berbeda antara satu sama lain. Di sini, kita perlu mengkaji dan mempelajari definisi-definisi di atas.
Pada definisi pertama dan ketiga, sesuatu yang dinamakan fitrah belum ditetapkan ada pada diri manusia. Karena pada definisi pertama, fitrah diartikan sebagai potensi manusia untuk mengenal dan menyembah Tuhan, dan potensi mengenal dan menyembah Tuhan bukan merupakan sebuah wujud khusus.
Demikian juga pada definisi ketiga, fitrah diartikan bahwa tujuan dari penciptaan manusia ialah mengenal dan menyembah Tuhan, sehingga dengan begitu ayat yang berbunyi, (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut, diartikan bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Tuhan. Oleh karena itu, di sini juga belum ditetapkan sesuatu yang bernama fitrah bagi manusia.
Sementara penjelasan kedua dan keenam mempunyai kedekatan, keduanya menyebutkan bahwa fitrah adalah satu bentuk insting, yaitu insting untuk mencari dan menyembah Tuhan, tidak ada bedanya dengan insting merasa lapar dan haus lalu mencari makanan dan minuman. Sekelompok cendekiawan mengklaim bahwa insting yang semacam ini ada pada diri manusia, dan untuk membuktikannya mereka juga bersandar kepada pendapat sebagian kalangan pakar psikologi. Akan tetapi, untuk membuktikan keberadaan insting yang semacam ini amat sulit.
Adapun pada penjelasan kelima, fitrah diartikan sebagai fitrah akal, dan disebutkan bahwa akal telah diciptakan sedemikian rupa sehingga dengan sendirinya menghadap dan mencari Sumber ciptaan, dan untuk itu tidak diperlukan argumentasi dan dalil demonstratif (burhan: dalil filosofis tak terbantahkan-peny.).
Begitu banyak terjadi manakala akal menyaksikan sekelumit rahasia alam maka dengan serta merta menjadi jelas baginya dan dia menemukan keyakinan akan keberadaan Pencipta alam, dengan tanpa menggunakan argumentasi. Oleh karena itu, akal mempunyai hubungan khusus dengan Pencipta alam, dan dia telah diciptakan sedemikian rupa sehingga terkadang dengan tanpa argumentasi pun dia dapat menerima keberadaan Pencipta dan beriman kepada-Nya.
Kita tetap perlu memberi catatan terhadap penjelasan ini. Meskipun benar dalam beberapa keadaan dengan tanpa argumentasi akal dapat memahami dan menerima keberadaan Pencipta alam, namun jika kita melihat dengan lebih teliti niscaya kita mendapati bahwa dalam keadaan ini pun sebenarnya bukan dengan tanpa argumentasi, hanya saja akal dengan cepat dan secara otomatis berargumentasi dengan tanpa disadari. Sebelumnya akal telah mengetahui bahwa setiap akibat (ma`lul) membutuhkan sebab (`illah), dan berbagai fenomena yang indah dan mengagumkan tentunya membutuhkan seorang pencipta yang pandai dan kuasa. Dengan mengetahui ini, maka tatkala akal menyaksikan keajaiban-keajaiban alam maka dengan cepat ia berargumentasi dan mengambil kesimpulan begini: fenomena yang mengagumkan ini tentu membutuhkan keberadaan Sebab Yang Mahapandai dan Mahakuasa, dan Itu adalah Tuhan Pencipta alam.
Alhasil dalam penjelasan fitrah kita dapat mengatakan, bahwa manusia dalam penyaksian tak berperantara (hudhûri)-nya terhadap diri, kekuatan dan perbuatan dirinya, secara otomatis ia akan memahami makna hukum sebab akibat. Manusia menyaksikan di dalam dirinya bahwa kekuatan dan perbuatan dirinya adalah maujud yang butuh dan tergantung kepada dirinya, yang dengan tanpa keberadaan dirinya maka mereka itu tidak akan ada, dan dirinya itu merupakan penyedia kebutuhan-kebutuhan mereka.
Dari sini, maka secara umum dia dapat memahami bahwa setiap wujud butuh dan bergantung kepada sebab. Oleh karena itu, di dunia luar dari dirinya pun, dia akan berusaha untuk dapat mengetahui sebab dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Di sisi lain, manusia juga mendapati dirinya adalah maujud yang bergantung, membutuhkan dan tidak bebas, dan mengetahui bahwa dia bukan pemilik wujud dirinya, dan untuk memenuhi segala kebutuhannya dia membutuhkan Wujud Yang bebas dan tidak bergantung. Seluruh manusia, secara hudhûri memiliki pemahaman yang seperti ini.
Insting mencari sebab dan fitrah menyembah Tuhan bersumber dari sebuah pemahaman seperti ini. Manusia mengetahui benar bahwa dia bukan pemilik dirinya dan tidak mempunyai kemampuan untuk menjaga dan mempertahankannya. Manusia juga mengetahui bahwa dia tidak bisa menghalangi kematian dirinya dan tidak bisa mencegah musibah dan rasa sakit yang menimpa dirinya. Manusia sadar betul bahwa dia tidak mandiri, dan untuk memenuhi kebutuhannya mau tidak mau ia harus meminta tolong kepada yang lain. Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhannya dia bersandar dan meminta tolong kepada orang atau sesuatu di luar dirinya.
Dari sini, dia pun kemudian mengetahui bahwa orang lain pun seperti dirinya, tidak mandiri, butuh dan bergantung kepada Wujud Yang Mahakaya dan Mahamerdeka. Kemudian, dia mengetahui bahwa Pencipta manusia dan alam ini adalah Wujud Yang Mahamerdeka, Mahakaya dan Mahamandiri, dan sekaligus mengakui keberadaan-Nya.
Seluruh manusia dapat memiliki ilmu dan pemahaman yang seperti ini. Adapun mereka yang mengingkari keberadaan Tuhan dengan lidahnya, berarti mereka telah berpaling dari fitrah mencari Tuhan yang ada dalam dirinya dan meletakkan tirai di atas fitrahnya itu.
Dengan demikian, fitrah mencari Tuhan dapat dijelaskan dengan insting mencari sebab, yang bersumber dari ilmu hudhûri tentang diri manusia. Begitu juga ayat-ayat dan hadis-hadis tentang alam dzur pengambilan janji dapat dijelaskan dengan makna ini.
Kelemahan-kelemahan Manusia dalam Pandangan Al-Quran
Allah Swt di dalam al-Quran menyebut manusia sebagai maujud yang mulia dan tinggi, namun di sisi lain Allah juga mencela manusia dengan menyebutkan kelemahan-kelemahannya. Berikut ini saya akan menyebutkan sebagian darinya:
1. Lupa Tuhan
Sudah merupakan tabiat manusia manakala ditimpa kesusahan dan kesulitan dia berdoa dan memohon kepada Allah Swt supaya diangkat dan dihilangkan kesulitannya, namun ketika kesulitan itu telah sirna dengan segera dia pun kembali kepada kebiasaan hidup semula dan melupakan Tuhan.
Allah Swt berfirman dalam al-Quran:
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan (QS. Yunus:12).
2. Bangga dan Sombong
Allah Swt berfirman dalam al-Quran:
Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, "Telah hilang bencana itu dariku." Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga (QS. Hud:10).
Pada ayat yang lain Allah Swt berfirman:
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, "Tuhanku telah memuliakanku." Namun apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, "Tuhanku menghinakanku" (QS. al-Fajr:15-16).
3. Tidak bersyukur
Allah Swt berfirman dalam al-Quran:
Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut darinya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih (QS. Hud:9).
4. Kikir dan Berkeluh-kesah
Allah Swt berfirman dalam al-Quran:
Katakanlah, "Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya." Dan adalah manusia itu sangat kikir (QS. al-Isra:100).
Allah Swt juga berfirman:
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (QS. al-Ma`arij:19-21).
5. Lemah
Allah Swt berfirman:
Dan manusia diciptakan lemah (QS. an-Nisa:28).
6. Melampaui Batas ketika Merasa Cukup
Allah Swt berfirman dalam al-Quran:
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup (QS. al-`Alaq:6-7).
7. Tergesa-gesa
Manusia terkadang memohon kejahatan dan bahaya, karena dia maujud yang tergesa-gesa.
Allah Swt berfirman:
Dan manusia memohon kejahatan sebagaimana dia memohon kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa (QS. al-Isra:11).
Pada ayat lain Allah Swt berfirman:
Manusia telah diciptakan (bertabiat) tergesa-gesa (QS. al-Anbiya:37).
8. Suka Membantah
Allah Swt berfirman:
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam al-Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah(QS. al-Kahfi:54).
9. Zalim dan Tidak Bersyukur
Allah Swt berfirman dalam al-Quran:
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah) (QS. Ibrahim:34).
10. Bodoh
Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (QS. al-Ahzab:72).
11. Tergoda Kesenangan Dunia
Allah Swt berfirman dalam al-Quran:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (QS. Ali Imran:14).
12. Menyuruh kepada Keburukan
Al-Quran berkata:
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya diri itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali diri yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf:53).
Menggabungkan Dua Kelompok Ayat
Dengan demikian, Islam menggambarkan manusia ke dalam dua bentuk yang bertentangan:
Satu sisi manusia diperkenalkan sebagai maujud pilihan dan mulia, yang memiliki ruh malakut dan tiupan Ilahi yang mengenal Tuhan dan mencari kesempurnaan, yang potensi kesempurnaan dan pemahaman ilmunya sampai batas di mana para malaikat pun tidak mampu mencapainya, dan oleh karena itu kedudukan yang sedemikian tinggi ini para malaikat diperintahkan untuk sujud di hadapannya. Dan terakhir manusia diperkenalkan sebagai Khalifah Allah.
Dalam hadis-hadis pun manusia digambarkan ke dalam dua bentuk ini:
Timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya hakikat manusia dan bagaimana kita bisa menggabungkan antara kedua kelompok ayat dan hadis ini? Jika fitrah manusia berada pada tauhid dan pencarian Tuhan, dan zatnya menginginkan kebaikan, kemuliaan dan keutamaan akhlak, lantas mengapa dia kufur kepada Allah, dan mengapa dia disebut sebagai makhluk yang bodoh, zalim dan tidak bersyukur?
Mungkin saja seseorang dalam usaha menjelaskan hal ini mengatakan, "Kelompok ayat dan hadis pertama berbicara tentang fitrah, yaitu bahwa demikianlah yang dituntut oleh fitrah dan penciptaan khusus manusia, sementara kelompok ayat dan hadis kedua berbicara tentang kenyataan luar yang bersifat menempel dan tidak tetap (`aridh)."
Penjelasan ini bisa saja dibantah dengan mengatakan, kelompok ayat dan hadis pertama dan kelompok ayat dan hadis kedua dalam tataran sedang menggambarkan dan memberitahukan tentang manusia, lantas dengan alasan apa kelompok ayat dan hadis pertama kita kaitkan dengan fitrah sementara kelompok ayat dan hadis kedua kita kaitkan dengan`aridh padahal kedua kelompok itu sama.
Kelompok ayat kedua pun yang berbunyi, Sesungguhnya diri itu selalu menyuruh kepada keburukan, Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah), Dan adalah manusia itu amat kikir, Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, Sesungguhnya dia cepat putus asa lagi tidak berterima kasih, sedang memberitahukan zat manusia.
Atau, bisa saja dijelaskan bahwa pada tataran zat dan fitrah manusia, baik kebaikan maupun keburukan tidak tertanam pada diri manusia, melainkan manusia memiliki potensi keduanya. Dengan kata lain, bahwa manusia pada tataran zat tidak baik dan tidak buruk, namun dia dapat memilih jalan kebaikan dan jalan keburukan. Namun, penjelasan ini pun tidak sejalan dengan zahir ayat dan hadis, karena keduanya sedang memberitahukan tentang manusia bukan sedang memberitahukan potensi jiwanya.
Ada juga penjelasan ketiga yang mengatakan, manusia adalah maujud yang setengah zatnya berupa cahaya dan setengah zatnya lagi berupa kegelapan. Zat cahaya manusia menuntut kebaikan dan kesempurnaan, oleh karena itu mendapat pujian, sementara zat kegelapannya menuntut keburukan dan kerusakan, oleh karena itu mendapat celaan. Dengan demikian, maka sifat-sifat baik manusia bersumber dari zat cahaya sementara sifat-sifat buruk berasal dari zat kegelapan.
Namun, penjelasan ini pun bersifat samar, karena akan muncul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan dua zat di sini? Manusia tidak lebih dari satu hakikat, lantas bagaimana satu hakikat dapat menjadi sumber kebaikan dan sumber keburukan? Bagaimana satu hakikat dapat menjadi penyeru kebaikan dan kesempurnaan dan penyeru keburukan dan kerusakan? Bagaimana satu hakikat dapat menjadi bahan pujian dan bahan celaan?
Namun, dalam menjelaskan perkataan yang ketiga ini kita dapat mengatakan, benar manusia tidak lebih dari satu hakikat namun dia mempunyai dua peringkat wujud: satu sisi manusia adalah hewan dan mempunyai kecenderungan-kecenderungan hewani dalam wujudnya, dan keburukan dan kejahatan bersumber dari dimensi hewani ini. Dari sisi lain dia adalah manusia dan mempunyai diri malakut, yang memiliki kesesuaian dengan Alam Qudus dan sumber kebajikan. Dari sisi inilah manusia menuntut keutamaan, kebaikan dan kesempurnaan.
Oleh karena itu, dimensi manusia dia mendapat penghormatan dan dimensi hewani dia mendapat celaan. Dimensi manusia dia mengenal Tuhan sementara dimensi hewani dia adalah rakus, kufur nikmat, kikir, zalim dan bodoh. Dengan cara ini kita dapat menjelaskan ayat-ayat dan hadis-hadis yang berbeda.
smbr http://www.alhassanain.com
Rekomendasi :
1. Motivasi (✿◠‿◠)
2. Kata-kata Mutiara Bijak
3. Kata Cinta Mahabbah Rabiatul
4. 99 Asmaul Husna
5. Wanita Bahagia, Berguna Untuk Orang Lain
6. Indahkanlah Harimu dengan Bersyukur
7. Kisah Allah Menciptakan Jibril
8. Tentang Dosa
9. Cari Pasangan (Rabbani)
10. Katakan Ya! untuk....
11. Katakan Tidak! untuk...
12. Ujian Indah
13. Kisah Cinta Rasul dan Khadijah
14. Waspadalah Bidadari Dunia, nikmat dunia fana hanya sementara
15. Pahami Nikmat yang Melimpah
16. Jadilah Bidadari Dunia yang Mulia
17. Jadilah Wanita Paling Bahagia di Dunia dan Akhirat
18. Menggapai Cinta Sang Maha Cinta
19. Didiklah Anak, dengan Fitrah dari Allah agar tidak Salah
20. Tanam Cintamu untuk Sang Maha Mulia dan Kekasih-Nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
anda sopan, saya segan (✿◠‿◠)